KOREA yang Berkarakter..

“Belajarlah walau dari seekor keledai!! Sebuah nasihat yang mengisyaratkan bahwa hikmah ada dimana-mana. Belajarlah!!

***

Suatu pagi saya mencoba untuk menangkap serakan hikmah dengan mengikuti sebuah Kuliah umum di Universitas ternama ibukota. Tema yang diangkat adalah teknologi. Di mana kala itu ketika mendengar kata teknologi, orang seusia saya akan terasosiasi tidak sadar dengan Play Station, X-Box, Windows, Starwars, Robocop atau sebangsanya. Pembicara pada seminar ini adalah seorang doktor dari Indonesia dan profesor berkewarganegaraan Korea. Uraian panjang lebar di waktu pembahasan berjalan dengan membosankan. Hal yang memang sudah jamak terjadi di forum-forum ilmiah, sampai ketika ada seorang penanya yang mempertanyakan Korea.

”Apa yang menyebabkan Korea dapat maju pesat jauh melebihi Indonesia ? padahal dulu di tahun 60-an, Indonesia sempat mengirimkan bantuan bahan pangan ke Korea yang sedang dilanda perang bersaudara tiada henti?” ujar penanya tersebut. Profesor asal korea tersebut menjawab ”Korea bisa maju karena kami punya rasa benci. Bangsa kami pernah dijajah oleh Jepang, sama seperti Indonesia. Kala itu kami sebagai bangsa benar-benar terhina. Diperas, diinjak, disiksa, dipaksa dan didzalimi oleh Jepang tanpa perikemanusiaan. Ribuan keluarga kami dipenjarakan, wanita-wanita diperkosa bahkan banyak yang dibunuh. Hari-hari kelam kala itu ditambah lagi dengan menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, tubuh kami disuntikkan dengan berbagai macam zat persis seperti hewan percobaan. Jepang pun menemukan sebuah teori yang memiliki tesis bahwa aliran darah bila di masukkan dengan oksigen akan menyebabkan kematian bagi manusia. Penemuan ini dipatenkan oleh Jepang, tiap mendengar hal ini hati kami miris. Beranjak dari pengalaman sejarah yag pahit ini kami pun bertekad untuk membalas semua perbuatan Jepang. ”I want to beat Japan everywhere” slogan ini seakan menjadi ruh bangsa kami. Setiap manusia di Korea memahaminya, bahkan bila anda tanyakan pada Balita dan Manula. Kebencian terhadap Jepang seakan menjadi ideologi kami. Maka, tidaklah mengherankan bila hari ini bangsa kami memiliki berbagai Industri selayaknya Jepang. Mereka memiliki SONY kami punya SAMSUNG. HONDA kami lawan dengan KIA atau HYUNDAI dan sebagainya.”

Profesor Korea ini meneguk segelas air minum, lalu segera melanjutkan ”Sebenarnya Indonesia punya kans untuk maju. Saya melihat potensi besar bangsa Anda. Tapi saya pikir letak kegagalan kemajuan bangsa anda adalah idiologi Anda. Pancasila menurut saya bukanlah ideologi yang cocok untuk Indonesia. Karena ideologi Pancasila Anda cenderung akomodatif. Sehingga ketika ada yang menginjak Pancasila tidak semua pihak akan membelanya. Tidak seperti rasa benci kami yang mendarah daging terhadap Jepang. Ideologi yang cukup baik bagi bangsa Anda menurut saya adalah Islam. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga bila ada hal-hal yang berkaitan dengan Islam diinjak-injak maka mayoritas penduduk Indonesia akan melawan. Muncullah rasa persaudaraan dan persamaan nasib yang kental, otomatis bangsa Anda dapat maju dengan ini.”

Pengalaman diatas menimbulkan kesan tersendiri bagi saya. Berawal dari peristiwa tersebut saya mencoba untuk tidak lagi mengabaikan masalah idiologi dan sejarah negara-bangsa Indonesia. Sebagai pemuda Indonesia, saya masih sering bertindak tanpa ruh kebangsaan. Ini memalukan!!

***

Masih segar dalam ingatan, peristiwa bunuh diri seorang petani korea ditengah arus demonstrasi penentangan rencana liberalisasi pasar beras Korea. Petani ini, Lee Kyung-hae, memprotes kebijakan WTO dengan cara menusuk jantungnya hingga tewas. Mendengar berita ini, bulu kuduk saya merinding. Ternyata masih ada orang yang bersedia mati hanya untuk beras.

Kebijakan WTO mewajibkan bagi setiap anggotanya untuk membuka pasar domestiknya dari segala bentuk proteksi dan subsidi. Semua harus bergerak dengan mekanisme pasar. Korea sebagai salah satu negara anggota WTO tidak luput dari kebijakan ini. Pemerintah Korea harus segera meratifikasinya bila ingin tetap mempertahankan citra dan kredibilitas negara. Dilema memang, disatu sisi ada keinginan kuat untuk melindungi petani Korea sedang disisi lain negara ini harus segera membuka pasar berasnya.

Uniknya, desakan membuka pasar beras ini telah terjadi sejak tahun 1995. Namun, baru diratifikasi oleh Korea tahun 2005 lalu. Sebuah strategi diplomasi cerdas yang hanya bisa dilakukan oleh diplomat yang tidak sekedar pintar semata tetapi juga memiliki jiwa kebangsaan. Selama 10 tahun pemerintah Korea melakukan moratorium, semua demi kepentingan rakyat Korea. Bahkan setelah meratifikasi, pemerintah Korea menerapkan kebijakan liberalisasi bertahap hingga dibukanya 100% pasar beras Korea di tahun 2014.

Sikap pemerintah Korea, berbeda dengan pemerintah Indonesia. Dikala negara Korea sibuk mengajukan moratorium. Pemerintah Indonesia cenderung menganggap liberalisasi sektor beras ini bukan merupakan masalah. Seakan terbuai dengan jargon-jargon pasar bebas tapi mengindahkan kondisi petani bangsa sendiri. Disini saya bukan inferior memandang bangsa sendiri, tapi inilah kenyataannya.

***

Berkarakter, tampaknya kata ini yang tepat dalam mendeskripsikan bangsa Korea. Semua elemen bangsa ini mulai dari rakyat jelata, buruh, petani, pelajar, mahasiswa sampai pemerintahnya memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap negara. Rakyatnya tidak segan untuk berteriak dikala pemerintah melakukan kesalahan, dan sebaliknya, pemerintah tidak malu untuk membela kepentingan Negara di dunia Internasional.

Seperti pembuka tulisan ini, Indonesia sebagai bangsa sebaiknya segera belajar dari Korea. Belajar tentang membentuk karakter, belajar tentang bersikap, belajar tentang menghargai budaya dan sejarah, belajar tentang anti plintat plintut.

Korea seakan membuktikan kepada kita bahwa menjadi pintar saja tidak cukup. Menjadi pintar bukan berarti harus lupa pada kulit pembungkusnya. Setiap tindakan, perbuatan dan ucapan harus dibalut dengan karakter kebangsaan. ()

Asap ; Salah Paham Filosofi Bisnis

Kasus asap bukanlah peristiwa baru bagi Indonesia. Hampir tiap tahun kejadian ini berulang, mulai dari asap yang berasal dari hutan di tanah gambut—Kalimantan—sampai hutan di Sumatera. Pemerintah tiap tahunnya berusaha keras untuk mengatasi masalah ini. Ironisnya, tetap saja tidak terselesaikan. Pemerintah terkesan reaktif, tidak menyelesaikan masalah dengan mencabut akarnya tapi hanya mengatasi gejala-gejala (sympthon) saja.

Masalah asap dapat dipisahkan menjadi dua penyebab, yakni akibat alam dan ulah manusia. Alam menimbulkan asap dengan musim kemaraunya yang berkepanjangan sehingga hutan menjadi kering dan terbakar. Sedangkan manusia menimbulkan asap akibat keserakahan yang dilakukannya.

Gejala alam yang semakin ”menggila” dapat dibaca oleh manusia lewat ilmu pengetahuan. Namun manusia tidak dapat memprediksi tepat sepenuhnya tentang alam. Sehingga asapa sebagai akibat dari alam, wajar diatasi dengan tindakan reaktif. Sedangkan asap yang berasal dari ulah manusia seharusnya diatasi dengan tindakan yang antisipatif. Metode penyelesaian dua penyebab ini harus berbeda.

Manusia adalah homo economicus, rasional berakal. Faktor penyebab asap yang dominan adalah akibat pembukaan lahan hutan menggunakan metode pembakaran. Metode ini sangat menguntungkan bagi pengusaha karena dapat meminimalisir cost. Bila cost rendah, maka profit cenderung meningkat.

Logika seperti inilah yang menyalahi filosofi dasar bisnis. Filosofi bisnis mencakup tiga hal, yakni keuntungan maksimum, jangka panjang (sustainability) dan tanggung jawab sosial. Selama ini, penekanan dunia bisnis cenderung berkutat pada filosofi keuntungan maksimum saja. Bahkan keuntungan maksimum hanya difokuskan pada aspek finansial, padahal ada aspek non-finansial. Seharusnya ketiga filosofi ini diterapkan secara beriringan, tidak dapat parsial satu-persatu.

Filosofi keuntungan maksimum menjadi sangat dominan karena pengusaha hidup dalam sistem bisnis yang berparadigma kompetisi. Iklim kompetisi memiliki prinsip dasar bahwa yang ”kuat” adalah pemenangnya. Sayangnya, untuk dapat menjadi ”kuat” banyak pengusaha yang menghalalkan segala cara. Seperti, membakar hutan, menyuap oknum aparat, menggelapkan pajak dan sebagainya.

Solusi untuk merubah ini adalah dengan menciptakan sistem bisnis yang kooperatif. Kooperatif antara pengusaha, pemerintah dan masyarakat dengan tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Sistem ini telah dicanangkan Bung Hatta—lewat koperasi—sejak dulu dan dianggap tepat dengan jiwa bangsa Indonesia.

Contoh negara yang menggunakan paradigma kooperatif adalah Cina. Pengusaha Cina membeli bahan baku industri dengan secara bersama-sama dalam jumlah besar, sehingga mendapatkan harga bahan baku yang lebih murah. Praktik ini menyebabkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pemerintah berperan sebagai pendata pengusaha yang membutuhkan bahan baku, mendapat keuntungan meningkatnya devisa negara. Pengusaha mendapat keuntungan harga bahan baku yang lebih rendah dan masyarakat mendapat keuntungan harga pakaian yang lebih murah.

Memahami kembali filosofi bisnis dan menciptakan sistem bisnis kooperatif adalah solusi yang tepat bagi kasus asap di Indonesia. Dengan menerapkan dua hal ini diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang bermotifkan bisnis.()

Demokrasi Biaya Tinggi

Sebenarnya apa yang menjadi magnet dalam kekuasaan? Apakah teori motivasi Maslow, teori x dan y—McGregor, ataupun teori-teori lainnya cukup menjelaskan fenomena pesta politik di Indonesia? Seringkali saya tidak habis pikir,bagaimana seorang kepala sekolah MTs di sebuah desa berani mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk menjajal pemilihan kepala desa? atau bagaimana seorang pemuda pengangguran berani membawa nama besar orang tuanya untuk dijual dalam pemilihan kepala daerah langsung. Dan tentu saja lagi-lagi pasti mengeluarkan biaya.

Adakah biaya dan resiko dipikirkan oleh mereka yang nekat ini. Di daerah Boyolali, sampai bulan Agustus kemarin belum satu pun kepala desa yang menerima gaji, padahal tanah bengkok desa telah dikembalikan kepada kas desa. Walau berarti kepala desa belum tentu mendapat “penghasilan” yang sepadan, tapi tetap saja setiap ada pembukaan pendaftaran calon kepala desa, pasti ramai diikuti peserta.

Disalah satu desa Jawa Tengah, tiap-tiap calon rela menghabiskan ratusan juta rupiah untuk biaya kampanye dan kesuksesan pencalonannya. Menurut penuturan salah satu tim sukses yang saya temui, tim jagoannya kalah karena hanya menyediakan dana kampanye sekitar Rp 250 juta sedangkan calon yang menang menggeloyorkan anggaran hingga Rp 450 juta. Dana ini digunakan untuk pendirian posko, penyebaran publikasi hingga mengadakan pentas dangdut. Ketika saya tanya motivasi pencalonannya, tim sukses ini beralasan bahwa semuanya semata-mata atas dasar prospek penarikan retribusi dan pungutan-pungutan yang dapat dilakukan oleh aparat desa terhadap banyaknya pabrik yang berdiri diwilayah desa tersebut. Identik dengan logika seorang pedagang saja, hanya untung yang dicari.

Fenomena lain terjadi di desa Caturtunggal. Desa yang tercatat sebagai desa terkaya di Jogja-Jateng ini menyelenggarakan pesta demokrasinya pada 28 oktober lalu. Layaknya pemilu nasional, pemilihan kepala desa ini sangat riuh meriah, ada calon yang mengedepankan nama orang tua, nama perusahaan, penggunaan simbol agama tertentu, dan tidak ketinggalan penyebaran kampanye hitam (black campaign). Hal ini tidak jauh berbeda dengan gambaran politik nasional. Mereka yang menggunakan rekam jejak orang tua, bendera agama, payung usaha, ataupun sentimen kesukuan percis ada. Pembedanya hanya ada pada skala.

Calon kepala desa yang mendaftar didesa ini sebanyak 8 orang. “Potensi” desa yang cukup wah karena terbentang luas mencakup wilayah utara UGM hingga Jalan Solo seakan menjadi prospek yang “cerah”. Entah apakah proses pilkades yang dilalui oleh masyarakat Indonesia saat ini akan memberikan edukasi politik atau hanya proses desentralisasi korupsi.

Tampaknya semakin banyaknya pemilihan-pemilihan yang dialami oleh warga Negara Indonesia tidak berkorelasi positif dengan pencerahan dan kesadaran politik. Sebagai contoh, seorang ibu yang berusia 48 tahun dan telah mengikuti pemilihan umum sebanyak 7 kali ternyata masih tidak mengedepankan rasionalitas dalam memilih calon kepala desanya. Pada pemilihan kepala desa ditempat beliau tinggal, hanya terdapat dua orang calon kepala desa. Sang ibu mendengar gosip bahwa calon nomor urut 2 adalah buronan yang masih dikejar-kejar oleh aparat kepolisian, sehingga dengan mantap pilihan ibu ini jatuh pada nomor urut satu walau nama saja tidak dikenal oleh sang Ibu. Agak berbeda dengan sang ibu, anak ibu ini memilih calon kadesnya karena melihat gambar calon yang terpampang ganteng. Ibu-anak ini mempunyai latar pendidikan yang berbeda. Sang ibu hanya lulusan SMP sedangkan sang anak adalah mahasiswi tingkat 3, ironisnya rasionalitas mereka hamper sama.

Banyak kasus lain yang mengindikasikan hipotesis diatas terbukti, penyebabnya bisa jadi karena tipikal masyarakat kita yang unik, seperti cepat melupakan sejarah, euphoria kesukuan, tidak rasional. Sedangkan dalam hal sistem diduga penyebab terjadinya hal diatas adalah lemahnya pengawasan dan sempitnya jalur interupsi politik. Atau mungkin juga penyebabnya adalah karena masyarakat telah bosan dengan begitu padatnya jadwal pemilihan umum (kepala desa, bupati hingga presiden) yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa pemilihan umum hanyalah ajang main-main yang bisa di-trial-error-kan, sehingga masyarakat hanya berpikir pragmatis tanpaperlu menguras otak untuk memilih secara rasional.

Walau kini kita bisa merasakan demokrasi yang relatif bebas, sayangnya kebebasan ini harus dibayar dengan demokrasi yang berbiaya tinggi. Hingga akhirnya proses pemilihan kepala desa hingga presiden langsung hanya menghasilkan pemenang berdasarkan berapa banyak rupiah yang dihabiskan, bukan pemenang yang benar-benar bisa memimpin. Pertanyaan , siapa memberi apa dan berapa menjadi kian relevan. Ironis. ()

Transformasi Kaum Marginal; Kerjasama dan Wirausaha

Sejak pertama kali kuliah di UGM tahun 2004, saya selalu melihat seorang pengemis tua yang duduk di depan pintu timur Fakultas Ekonomi. Pengemis ini adalah seorang nenek berusia senja yang sepatutnya lebih banyak beristirahat dirumah daripada memanggang diri ditengah terik mentari. Biasanya nenek ini “parkir” diposisinya dari pukul tujuh pagi hingga empat sore. Anehnya hingga kini di akhir tahun 2007, sang nenek tetap mengemis dengan posisi duduknya yang tidak beranjak dari tempat “ngemis”di tahun 2004.

Dapat dikatakan, tiga tahun “usaha” nenek tersebut tidak menghasilkan kualitas ekonomi yang lebih baik. Padahal sepenglihatan saya, cukup banyak penghasilan harian yang didapatkan. Bisa mencapai 20rb hingga 40rb rupiah atau Rp 1.200.000 per bulan.

Bila kita beranjak sedikit dari tempat sang nenek, disebelah musholla fakultas psikologi pemandangan serupa dapat ditemui. Juga seorang nenek renta yang beraksi mengemis di fakultas ini. Persis dengan nenek pertama, pengemis ini sudah ada sejak tahun 2004, seakan-akan mengindikasikan ada kapling-kapling tertentu disekitar kampus yang menjadi wilayah kerja seorang pengemis. Wilayah yang tidak boleh diganggu gugat oleh “pendatang baru”. Lantas pertanyaannya adalah siapa yang mengorganisir kapling-kapling ini? Bila pengemis yang ada tidak terorganisir dan menggunakan mekanisme pasar dalam menentukan wilayah kerjanya, tentu siapapun boleh mengemis diwilayah manapun sesuka hati. Namun, kenyataannya tidak. Tampak ada kesepakatan yang mengatur. Tetapi ironisnya kesepakatan ini tidak cukup cerdas dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Buktinya jelas, sampai detik ini mereka tetap mengemis.

Bila dapat bersepakat untuk menentukan kapling, mengapa para pengemis ini tidak dapat bersepakat untuk membentuk paguyuban? Dengan paguyuban mungkin saja mereka dapat mendirikan koperasi atau usaha yang dikelola bersama. Penghasilan seorang pengemis per hari yang rata-rata sekitar 40 ribu rupiah bisa disisihkan untuk modal awal mereka. Logika usaha bersama ini bukanlah logika elitis yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan. Berdasar naluri dan pengalaman sehari-hari pun cukup. Semua dapat melakukannya, hanya tinggal kemauan dan berpikir logis. Namun, ironisnya hal ini sulit diwujudkan. Spekulasi, takut untuk berubah dan mindset yang salah begitu dominan dalam perilaku masyarakat. Ditambah lagi dengan mental individual yang kian mencuat, self-centered hingga egoisme (Winarno 2007), sikap mental yang menggerus budaya gotong royong dalam masyarakat. Koperasi yang diusung dan didesain oleh Hatta sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat kian tergusur oleh logika persaingan an sich. Sebuah logika yang didasarkan pada pengagungan individualisme dan percaya bahwa dengan selalu berkompetisi hasil yang terbaik akan diraih, logika inilah yang sedang menjadi “primadona” bahkan dikalangan kaum marginal sekalipun

Negara yang seharusnya menjalankan fungsi jaminan sosial tidak lagi bisa diandalkan. Birokrat yang korup, otonomi daerah yang disalahartikan, improfesionalitas lembaga pemerintahan, misspriority hingga mismanagement masih sering dan terjadi berulang kali. De Soto berpendapat bahwa kaum marginal dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan cara merubah asset pasif mereka menjadi asset yang likuid. Kemudian, berbekal jiwa wirausaha, asset likuid ini bisa diputar hingga menghasilkan return yang diharapkan.

Berbeda dengan pendapat De Soto, Yunus menawarkan solusi berupa pemberian akses capital kepada kaum marginal yang didasarkan pada sikap saling percaya, kontrol internal dan prospek usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Dalam kasus pengemis diatas, peran edukasi Negara terhadap kaum marginal dan peran intermediasi lembaga keuangan menjadi dua hal yang sangat berpengaruh. Baik pendapat De Soto maupun Yunus dapat diaplikasikan dinegara ini. Pengetahuan akan seluk beluk wirausaha dan penanaman visi hidup bermartabat menjadi hal yang juga penting untuk dipahami oleh masyarakat. Pendidikan akan pentingnya kebersamaan dan kekeluargaan harus semakin dimasifkan. Banyak contoh dimana kerjasama, koalisi ataupun merger menjadi jalan sukses perusahaan-perusahaan besar. Sekedar akses terhadap capital tidaklah cukup memperkuat competitive advantage kaum marginal di era globalisasi saat ini. Bila mereka yang marginal bersatu, bekerjasama dan berwirausaha maka secara agregat keadaan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Pertanyaannya adalah dimulai dari mana?()

Di Seputar Pancasila

Pancasila adalah perjanjian luhur (gentlement aggrement) yang berfungsi sebagai perekat bangsa dan mengandung great ideas (gagasan besar). Isi Pancasila mencakup monoteisme, humanisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan.

Selama ini, kita telah mendapatkan pelajaran tentang Pancasila semenjak pendidikan dasar, namun selama itu pula kita tidak memahami makna dan fungsi Pancasila, entah fungsinya sebagai pandangan hidup bangsa, dasar idiologi bangsa ataupun dasar filosofis bangsa ini berdiri.

Tanpa sadar kita mengabaikan nilai-nilai yang ada pada Pancasila dan menganggap jijik pelajaran Pancasila maupun turunannya (PPKN, Kewarganegaraan dan Kewiraan). Padahal bila dilihat secara mendalam Pancasila memiliki misi perbaikan bangsa dan jatidiri bangsa yang sangat meng-Indonesia.

Termasuk tentang nilai-nilai ajaran Pancasila akan arti kesejahteraan, keadilan dan perekonomian. Untuk itu tulisan ini akan mengupas tentang kondisi kontemporer, kritik dan gagasan ekonomi yang terkandung dalam Pancasila.

Pancasila Vs Bangsa Inferior

Bangsa adalah sejarah kisah-kisah. Terbentuk dari kesadaran untuk menyatukan diri. Sebagai kisah, bangsa membutuhkan nations building. Negara harus memperkuat karakter kebangsaan, bisa dengan pendidikan maupun pelayanan. Negara yang melayani rakyatnya –secara tidak langsung –akan menambah rasa nasionalitas. Sebagai contoh masyarakat Amerika memiliki slogan ”Right or Wrong, this is my country”. Ungkapan ini menggambarkan kebanggaan rakyat Amerika. Walau hal ini terjadi di balik kebobrokan dan kearoganan pemerintahnya dalam politik luar negeri Amerika, masyarakatnya tetap berbesar hati menjadi warga negara Amerika.

Selain nations building, sebuah bangsa bisa dibentuk karena kesadaran untuk menyatukan diri. Dalam proses menyatukan diri ini dibutuhkan sistem sosial yang mapan. Pancasila diasumsikan bisa melakukan dua hal ini.

Ironisnya, bangsa kita terserang penyakit Inferiority complex. Inferior dalam memandang khasanah budaya bangsa. Seolah-olah enggan menjadi warga negara Indonesia. Di sekolah-sekolah, kita sulit menemukan kreasi siswa—misal majalah dinding—yang menggunakan corak-corak kebudayaan nasional seperti wayang, batik dll. Yang ada adalah wujud kreativitas yang dibungkus dengan budaya-budaya asing, bisa ke jepang-jepang-an—komik jepang, tulisan-tulisan jepang—ke amerika-amerika-an dan ke-an yang lain. Dalam kasus konsumsi,misalnya, kita malu untuk menggunakan produk dalam negeri. Dalam berbahasa, malu untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan yang lebih parah, karena saking inferiornya,kita tidak percaya diri untuk hidup mandiri.

Pancasila adalah Idiologi Akomodatif

Proses terbentuknya Pancasila mengalami fase-fase yang sulit. Terjadi debat-debat panjang antara golongan-golongan yang ada. Walau akhirnya Pancasila bisa lahir dengan terlebih dulu menghapus tujuh kata yang ada di Piagam Jakarta.

Pendiri bangsa memahami pentingnya menentukan idiologi bangsa. Akibat situasi yang tidak kondusif, Pancasila dipaksakan untuk di-idiologi-kan sesegera mungkin. Hal ini menyebabkan Pancasila menjadi sangat akomodatif. Dalam jangka pendek masalah ini tidak akan terlalu parah, bahkan bisa memperkuat persatuan. Namun di jangka panjangnya, ada kecenderungan hal ini menimbulkan masalah. Sebagai contoh, berbeda-bedanya penafsiran akan Pancasila dalam hal-hal tertentu, semisal pornografi dan Perda yang bernuansa Islami. Jelas bila kita berpikir Pancasilais maka pornografi adalah hal yang merusak moral dan harus dilarang. Tapi sampai saat ini RUU Pornografi masih saja belum disahkan, ironisnya argumen yang digunakan juga memakai Pancasila. Kemudian tentang Perda yang bernuansa Islami, golongan nasionalis berargumen bahwa Perda ini tidak sesuai dengan Pancasila dan berpotensi menimbulkan konflik, tapi golongan Islam berpendapat bahwa terbentuknya Perda ini berasal dari pengembangan pemikiran pancasila terutama sila pertama.

Bila seperti itu terus menerus, Pancasila akan segera terkikis. terkikis karena tiada lagi yang akan membela pancasila bila nanti dilecehkan. Bisa saja masing-masing golongan mengatakan bahwa hal yang melecehkan Pancasila tersebut—menurut penafsiran golongannya—bukanlah masalah. Pancasila seharusnya hanya memiliki satu tafsir yaitu tafsir Pancasila. Bukan tafsir Pancasila Nasionalis, Pancasila Sosialis ataupun Pancasila Islamis.

Gagasan Ekonomi Pancasila

Krisis moneter yang terjadi diakhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, menjadi penyebab ekonomi Indonesia ambruk. Padahal ditahun 1994 Indonesia dimasukkan dalam jajaran negara yang perekonomiaannya menghasilkan miracle economy oleh world bank, termasuk dalam negara-negara yang dikategorikan ekonominya ajaib adalah Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand dan Malaysia.

Fakta inilah yang menunjukkan kekeliruan fatal teori ekonomi konvensional. Tidak mungkin satu perekonomian dengan fundamental ekonomi yang baik dan sehat dapat collapse dalam waktu sangat cepat. Jelas bukan kebijakan ekonomi Indonesia yang salah, tetapi teori atau ilmu ekonominya yang harus diakui keliru[1].

Kenyataan akibat terjadinya krisis ini adalah makin miskinnya negara dan pengusaha besar (korporasi), karena dua penggiat ekonomi ini menggunakan dollar dalam aktivitasnya sehingga turunnya nilai rupiah meningkatkan utang atau kewajiban mereka. Sedangkan pelaku ekonomi mikro dan kecil sama sekali tidak merasakan pengaruh krisis ini.

Peristiwa ini yang menyebabkan gaung ekonomi pancasila ”dipaksa” untuk hadir kembali berperan langsung dalam menanggulangi perekonomian Indonesia. Ekonomi pancasila atau ekonomi kerakyatan ketika diaplikasikan dalam masyarakat akan menghasilkan masyarakat yang adil dan makmur. Makmur yang bukan hanya bermakna material saja tapi juga bersifat spiritual. Makna adil pun ditujukan untuk membuka paradigma kita akan pentingnya keadilan yang akan menghasilkan kemakmuran.

Nilai Pancasila merupakan hasil dari ”galian” nilai-nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Sehingga ilmu ekonomi yang berlandaskan pada pancasila sangat baik diterapkan di masyarakat karena sesuai dengan perilaku subjek perekonomian.

Ekonomi Pancasila menempatkan subjek ekonomi tidak hanya sebagai konsumen namun juga mendorong mereka menjadi produsen dalam perekonomian negara. Ekonomi Pancasila tidak hanya mempertimbangkan makro ekonomi (fiskal maupun moneter) saja, tapi mempertimbangkan aspek riil dan informal perekonomian negara.

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang tidak bebas nilai sehingga moral dan aspek-aspek pendukungnya menjadi penting dalam penerapan ilmu ekonomi. Pertanyaan kritis menyangkut ekonomi Pancasila adalah apakah ekonomi Pancasila mampu untuk diterapkan dinegara selain Indonesia, semisal Timor-Timor—negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia.

****

Sebagai anak bangsa, mengisi kemerdekaan bangsa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Nilai-nilai baik yang selama ini telah ada didalam bangsa harus terus dilestarikan. Impian tentang kesejahteraan, keadilan sosial, dan kemanusiaan harus kita wujudkan. Pancasila sebagai idiologi memang masih banyak dikritik, tapi bukan berarti kita tidak dapat meraih cita-cita yang diimpikan oleh pendiri bangsa dengan tetap memiliki jiwa Pancasilais.

[1] Mubyarto, lahirnya ekonomi pancasila, hlm 1.