(Berpikir) Golput

Hingar bingar kampanye mulai terasa. Baliho, spanduk, rontek, hingga billboard marak dijalan-jalan. Bahkan tiba-tiba semua daerah ramai terpasang bendera, mirip tujuhbelasan. Pasalnya besok kampanye terbuka bermula. Senin, 16 Maret 2009.

Entah mengapa semangat ber”pesta” dalam pergelaran ini tidak terasa bagi saya, masygul!. ada yang terhambat dalam hati. Berbeda sekali dengan 2004, Kala itu, saya menaruh harapan penuh akan semakin baiknya kinerja negara dengan ber-pemilu. Namun kini, perasaan itu menguap.

Apa sebab? mungkin sekali karena saya merasa dikhianati, suara saya hanya digunakan mereka untuk menikmati mewahnya hidup menjadi pejabat, serunya rekreasi diluar negeri atau mungkin untuk menikmati pijat!!

Mungkin saya semakin tumpul dalam berpikir, dangkal dalam mencerna atau semakin bodoh. Kata hati saya berujar ketus, “buat apa kamu masih percaya pada parpol-parpol yang ada? memangnya apa yang mereka lakukan? bukankah mereka telah ingkar janji?”

Saya hanya merenung mendalam, pilihan saya (dulu) yang akhirnya menjadi pengampu kursi terbanyak di kota tercinta pun mengecewakan. Coba lihat apakah janji-janji yang dulu diucapkan terwujud? bagaimana dengan kemiskinan disana? banjir? kemacetan?, sampah?, pengangguran?, pendidikan?, pelayanan kesehatan?
Menyadari hal itu saya pun mulai (berpikir) menjadi barisan pendobrak, barisan yang dicaci naif, bodoh, dusta dan dianugerahi fatwa. Barisan GOLPUT.

Bila ada yang berpendapat bahwa memilih adalah bentuk tanggung jawab saya terhadap Negara. Saya akan bertanya balik, apa tanggung jawab Negara yang sudah dilakukan kepada saya. Toh sampai saat ini saya patuh membayar pajak, menaati rambu lalu lintas, mengikuti pendidikan dengan biaya selangit, hingga tetap tinggal di Negara ini. Sedangkan, disisi lain Negara mengabaikan tanggung jawabnya sehingga saya “ikhlas” menikmati jalanan yang berlubang, pemborosan anggaran, dan korupsi yang menggila. Apakah tanggung jawab saya dibalas setimpal dengan tanggung jawab Negara? Apakah ukuran bertanggung jawab menjadi warga Negara Indonesia hanya semata-mata dengan mengikuti pemilu?

Menurut saya (berpikir) GOLPUT adalah bentuk sikap kita terhadap ketidakpercayaan model perwakilan dan keterbatasan pilihan. Bukankah model perwakilan saat ini hanya akan menempatkan mereka yang punya uang, bersanak-famili dan orang-orang tua dan lama diparlemen saja? Bukankah mereka saling berkoalisi dan bertindak pragmatis dalam hal kekuasaan? Apakah kita dilibatkan dalam penentuan calon legislative oleh para partai?

Di text book tertulis beberapa fungsi dari partai politik, yaitu kaderisasi, pendidikan politik dan saluran aspirasi. Apakah fungsi ini telah hidup di negeri kita? Apakah partai menentukan para calonnya dengan cara yang transparan dan edukatif kepada masyarakat? Apakah pernah partai mendengarkan keluhan-keluhan kita? Apakah partai pernah mengajarkan kepada kita pendidikan politik? Konstitusi kita? Hak-hak kita?

PS : Ditulis dengan geram, setelah mendengar sahabat meninggal karena jalan raya yang berlubang, berpasir!!